Ayat-Ayat Cinta 2

Ayat-Ayat Cinta 2

Judul : Ayat-Ayat Cinta 2
Kategori : Novel
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2015
Halaman : vi + 698 halaman; 13,5 x 20,5 cm

Ayat-ayat Cinta adalah novel islami yang begitu menginspirasi saya. Namun tidak serta merta terbitnya buku yang kedua membuat saya ingin segera membelinya. Mungkin karena dalam perjalanannya juga begitu banyak novel lain yang cukup menggugah. Diantaranya mungkin adalah novel-novel karangan Tere Liye yang saat ini menjadi favorit saya. Bahkan ketika Habiburrahman diagendakan datang ke sekolah tempat saya mengajar, saya cuma menambahkan catatan akan hadir.

Ternyata, meskipun judulnya Halal Bihalal, pertemuan dengan seluruh murid dan dewan guru tersebut mengubah niat dan pandangan saya. Setelah acara selesai, saya memutuskan untuk membeli novel tersebut. Walau tidak sempat dapat tanda tangan Kang Abik, saya berencana untuk menghatamkan novel tebal tersebut.

Setelah hampir satu bulan berlalu, akhirnya saya memutuskan untuk membaca novel yang telah saya miliki itu. Mengapa menunggu sekian lama hanya untuk memulainya. Bukannya saya beranggapan bahwa novel ini kurang menarik. Tidak, justru sebaiknya. Saya takut tidak bisa berhenti saat memulai membaca novel ini. Sedangkan tugas yang lain masih menumpuk. Maka ketika ada waktu senggang dan tugas utama sudah diselesaikan, saya putuskan untuk memulai membaca.

Ketika saya mulai membaca di sore hari, ternyata saya benar-benar tidak bisa berhenti. Bahkan sampai begadang hingga dini hari. Jika saja saya tidak harus masuk kerja keesokan harinya, mungkin saya tidak akan tidur semalaman hanya untuk menamatkan novel ini. Maka saya putuskan istirahat sejenak. Walaupun ujung-ujungnya, saya kembali membacanya saat waktu senggang sebelum zuhur dan menamatkannya. Dengan kata lain, saya menyelesaikan novel setebal 698 halaman ini dalam satu hari saja. Jika buku pelajaran, satu pekan pun takkan selesai di baca.

Jadi, seperti apa sebenarnya cerita di novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini?

Fokus utamanya masih mengiring kehidupan Fahri. Kini dia adalah seorang dosen di Universitas Edinburgh. Di sini dia harus hidup di tengah-tengah mayoritas non-Muslim. Belum lagi, banyaknya anggapan negatif terhadap muslim yang beredar di Eropa. Fahri harus memperlihatkan wajah Islam yang sesungguhnya. Bukan sekedar lewat kata-kata atau tulisan. Tapi bagaimana ia harus bersikap dengan akhlak terpuji bahkan terhadap non-Muslim yang menyakitinya.

Novel ini juga masih menceritakan kisah cinta. Tentang Fahri yang harus berpisah dengan Aisya yang menghilang di Palestina. Serta tuntutan dan saran dari para sahabat dan keluarga agar ia menikah lagi. Sedangkan ia masih berharap Aisya akan kembali meskipun tidak tahu di mana keberadaannya kini.

Membaca novel ini akan banyak menambah wawasan keislaman. Cara penyampaiannya yang pas, tidak akan membuat pembaca merasa digurui. Semuanya menyatu dalam kehidupan Fahri sebagai tokoh utama.

Salah satu pembelajaran yang saya ambil dari novel ini adalah, bagaimana kita harus memperlakukan orang lain sebagai manusia lebih dulu dan berbuat baik kepada orang lain meskipun berbeda agama. Kita tidak suka jika orang lain mencap semua muslim sebagai teroris karena sekelompok oknum saja. Maka kita pun tidak boleh berburuk sangka kepada orang lain hanya karena agamanya berbeda. Hendaknya kita berbuat baik kepada pemeluk agama lain, dan lebih berbuat baik lagi kepada saudara kita sesama Muslim.

0 Comments

Posting Komentar