Terakhir kali saya menulis cerita fiksi ketika saya masih duduk di bangku SMA. Meskipun masih suka menulis, tapi saat ini tulisan saya berupa artikel bebas di blog saja. Kebanyakan menceritakan kehidupan sehari-hari berupa kejadian nyata.
Kali ini saya mempunyai ide untuk menulis sebuah cerita fiksi. Bagi pemula, tentu lebih baik menulis cerpen saja. Tapi cerita kali ini sepertinya akan lebih panjang dari pada cerpen. Maka saya memutuskan untuk menulisnya dalam bentuk cerbung.
Cerbung memungkinkan saya untuk membagi cerita ini dalam beberapa cerita pendek. Setidaknya otak saya tidak akan mumet jika sedang buntu untuk menulis. Berhubung saya terbiassa dengan pola diary di blog, maka cerbung ini pun akan saya tulis berdasarkan timeline waktu.
Selamat membaca.
Mei, 2010
Aku adalah seorang mahasiswi pada salah satu fakultass kedokteran negri di ibukota. Daerah asalku jauh di pedalaman pulau Sulawesi. Meski bukan berasal dari keluarga mampu, aku bisa kuliah di sini karena adanya beasiswa prestasi. Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa aku adalah mahasiswi yang pandai.
Sebagai mahasiswi, aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Teman dekatku hanya teman-teman kosan saja. Tapi aku tetap bisa ikut organisasi kampus seperti BEM. Aku juga mengikuti organisasi LDK untuk menjaga wilayah pergaulan. Aku tidak akan mengaku alim, tapi setidaknya aku adalah lulusan pesantren.
Meski begitu, kadang aku merasa hidupku hampa. Aku bosan dengan rutinitas koas yang melelahkan. Aku memang tidak punya teman dekat. Malam-malamku kuhabiskan dengan menonton drama bukannya belajar.
Kadang aku berpikir sudah bosan hidup. Rasanya ingin mati saja. Tapi aku tahu bahwa bunuh diri itu dosa. Setidaknya aku ingin mati dalam keadaan wajar.
Saat ini aku sudah kuliah semester delapan. Kali ini aku sedang coas di stase geriatri. Stase geriatri kali ini agak merepotkan buatku. Kami harus menjalani coas di sebuah rumah sakit jiwa di kota B. Sedangkan kampus kami di ibu kota. Pada satu waktu kami harus hadir di rumah sakit, namun pada waktu yang lain harus ke kampus. Aku pun terpaksa ngekos di dua tempat sekaligus bulan ini.
Sebagai mahasiswi dari daerah, aku tidak punya transportasi pribadi. Angkot adalah alat transportasi yang biasa kugunakan dari kota B ke ibukota atau sebaliknya. Karena rutenya jauh, biasanya harus ganti angkot di terminal untuk meneruskan perjalanan. Cukup melelahkan, tapi harus ku jalani.
Malam ini aku sedang duduk menghadapi laptop di kamar kosanku di ibukota. Besok ada ujian stase dan kami harus menyerahkan laporan pengamatan pasien yang kami laksanakan selama di rumah sakit. Sayangnya, layar laptopku malah menampilkan sebuah dorama Jepang.
Sebenarnya aku sudah memikirkan apa yang ingin ku ketik dalam laporan. Hanya saja, masih ada yang mengganjal. Rasanya malas sekali untuk mengerjakannya sekarang. Besok pagi saja deh, sekalian.
Aku bangun pagi dan masih ingat untuk solat Subuh. Namun saat mengingat laporan yang belum ku kerjakan sama sekali, pikiranku menjadi kacau. Perasaannku menjadi tidak tenang. Rasanya aku tidak siap menghadapi ujian hari ini.
Aku tak tahu apa yang merasukiku pada hari itu. Aku benar-benar tidak ingin pergi ke kampus. Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun. Aku ingin lari dari ini semua. Aku ingin menghilang.
Jika aku tetap berada di kamar kosan, pasti akan ada yang mencariku jika aku tidak hadir di kampus hari ini. Ah, aku tak sanggup menghadapinya. Sebaiknya, aku lari saja.
Tapi aku harus pergi ke mana?
Setidaknya aku harus pergi ke tempat yang jauh yang tidak akan bisa ditemukan orang lain. Aku juga harus merubah penampilanku supaya tidak mudah dikenali.
Aku pun mengambil gunting. Aku memotong rambut panjangku hingga tersisa di atas bahu.
Aku mengambil sebuah tas kecil dan memasukkan semua uang tunai yang kumiliki. HP, dompet, kartu ATM, tanda pengenal dan lainnya, tidak ada yang kubawa. Aku tak ingin dikenali. Kalaupun harus mati, aku ingin mati di tempat asing tanpa dikenali oleh siapa pun.
Aku mengenakan celana panjang dan baju kaos lengan pendek di bagian dalam. Kemudian kulapisi dengan pakaian jubah panjang dan kerudung di bagian luar. Dengan tas kecil di selempangan aku siap pergi.
Dengan agak deg-degan, aku melangkah keluar kamar dan keluar kosan.
"Selamat pagi, Bu."
Aku bahkan masih bisa menyapa Ibu kos saat pergi. Mungkin beliau mengira aku pergi ke kampus seperti biasa.
Dengan mengendarai angkot yang biasa ku kendarai saat pergi ke kampus, aku malah singgah ke terminal. Sesampainya di terminal, aku sempat bingung ingin naik bus yang mana. Aku pun menghampiri salah satu loket
"Mau ke mana, Neng?" tanya petugas loket
"Yogjakarta," jawabku setelah terdiam beberapa detik.
"Busnya baru berangkat nanti sore, Neng."
"Bus yang berangkat pagi ini kemana?"
"Purwokerto, nanti bisa lanjut ke arah Yogyakarta."
"Saya beli tiketnya satu"
Pagi itu aku menaiki salah satu bus menuju Purwokerto. Bus pun melaju membawaku pergi.
Hari itu, aku tak tahu apa yang merasukiku. Aku melakukan perbuatan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Bersambung.
Kali ini saya mempunyai ide untuk menulis sebuah cerita fiksi. Bagi pemula, tentu lebih baik menulis cerpen saja. Tapi cerita kali ini sepertinya akan lebih panjang dari pada cerpen. Maka saya memutuskan untuk menulisnya dalam bentuk cerbung.
Cerbung memungkinkan saya untuk membagi cerita ini dalam beberapa cerita pendek. Setidaknya otak saya tidak akan mumet jika sedang buntu untuk menulis. Berhubung saya terbiassa dengan pola diary di blog, maka cerbung ini pun akan saya tulis berdasarkan timeline waktu.
Selamat membaca.
Apakah Aku Bipolar
Part 1 : Awal dari kisah iniMei, 2010
Aku adalah seorang mahasiswi pada salah satu fakultass kedokteran negri di ibukota. Daerah asalku jauh di pedalaman pulau Sulawesi. Meski bukan berasal dari keluarga mampu, aku bisa kuliah di sini karena adanya beasiswa prestasi. Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa aku adalah mahasiswi yang pandai.
Sebagai mahasiswi, aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Teman dekatku hanya teman-teman kosan saja. Tapi aku tetap bisa ikut organisasi kampus seperti BEM. Aku juga mengikuti organisasi LDK untuk menjaga wilayah pergaulan. Aku tidak akan mengaku alim, tapi setidaknya aku adalah lulusan pesantren.
Meski begitu, kadang aku merasa hidupku hampa. Aku bosan dengan rutinitas koas yang melelahkan. Aku memang tidak punya teman dekat. Malam-malamku kuhabiskan dengan menonton drama bukannya belajar.
Kadang aku berpikir sudah bosan hidup. Rasanya ingin mati saja. Tapi aku tahu bahwa bunuh diri itu dosa. Setidaknya aku ingin mati dalam keadaan wajar.
Saat ini aku sudah kuliah semester delapan. Kali ini aku sedang coas di stase geriatri. Stase geriatri kali ini agak merepotkan buatku. Kami harus menjalani coas di sebuah rumah sakit jiwa di kota B. Sedangkan kampus kami di ibu kota. Pada satu waktu kami harus hadir di rumah sakit, namun pada waktu yang lain harus ke kampus. Aku pun terpaksa ngekos di dua tempat sekaligus bulan ini.
Sebagai mahasiswi dari daerah, aku tidak punya transportasi pribadi. Angkot adalah alat transportasi yang biasa kugunakan dari kota B ke ibukota atau sebaliknya. Karena rutenya jauh, biasanya harus ganti angkot di terminal untuk meneruskan perjalanan. Cukup melelahkan, tapi harus ku jalani.
Malam ini aku sedang duduk menghadapi laptop di kamar kosanku di ibukota. Besok ada ujian stase dan kami harus menyerahkan laporan pengamatan pasien yang kami laksanakan selama di rumah sakit. Sayangnya, layar laptopku malah menampilkan sebuah dorama Jepang.
Sebenarnya aku sudah memikirkan apa yang ingin ku ketik dalam laporan. Hanya saja, masih ada yang mengganjal. Rasanya malas sekali untuk mengerjakannya sekarang. Besok pagi saja deh, sekalian.
Aku bangun pagi dan masih ingat untuk solat Subuh. Namun saat mengingat laporan yang belum ku kerjakan sama sekali, pikiranku menjadi kacau. Perasaannku menjadi tidak tenang. Rasanya aku tidak siap menghadapi ujian hari ini.
Aku tak tahu apa yang merasukiku pada hari itu. Aku benar-benar tidak ingin pergi ke kampus. Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun. Aku ingin lari dari ini semua. Aku ingin menghilang.
Jika aku tetap berada di kamar kosan, pasti akan ada yang mencariku jika aku tidak hadir di kampus hari ini. Ah, aku tak sanggup menghadapinya. Sebaiknya, aku lari saja.
Tapi aku harus pergi ke mana?
Setidaknya aku harus pergi ke tempat yang jauh yang tidak akan bisa ditemukan orang lain. Aku juga harus merubah penampilanku supaya tidak mudah dikenali.
Aku pun mengambil gunting. Aku memotong rambut panjangku hingga tersisa di atas bahu.
Aku mengambil sebuah tas kecil dan memasukkan semua uang tunai yang kumiliki. HP, dompet, kartu ATM, tanda pengenal dan lainnya, tidak ada yang kubawa. Aku tak ingin dikenali. Kalaupun harus mati, aku ingin mati di tempat asing tanpa dikenali oleh siapa pun.
Aku mengenakan celana panjang dan baju kaos lengan pendek di bagian dalam. Kemudian kulapisi dengan pakaian jubah panjang dan kerudung di bagian luar. Dengan tas kecil di selempangan aku siap pergi.
Dengan agak deg-degan, aku melangkah keluar kamar dan keluar kosan.
"Selamat pagi, Bu."
Aku bahkan masih bisa menyapa Ibu kos saat pergi. Mungkin beliau mengira aku pergi ke kampus seperti biasa.
Dengan mengendarai angkot yang biasa ku kendarai saat pergi ke kampus, aku malah singgah ke terminal. Sesampainya di terminal, aku sempat bingung ingin naik bus yang mana. Aku pun menghampiri salah satu loket
"Mau ke mana, Neng?" tanya petugas loket
"Yogjakarta," jawabku setelah terdiam beberapa detik.
"Busnya baru berangkat nanti sore, Neng."
"Bus yang berangkat pagi ini kemana?"
"Purwokerto, nanti bisa lanjut ke arah Yogyakarta."
"Saya beli tiketnya satu"
Pagi itu aku menaiki salah satu bus menuju Purwokerto. Bus pun melaju membawaku pergi.
Hari itu, aku tak tahu apa yang merasukiku. Aku melakukan perbuatan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Bersambung.
0 Comments
Posting Komentar